Friday, August 23, 2013

SolaTlAh Kamu SetElaH SelESAi SyaRat SeBelUM SolAT

Peringatan untuk muslimah, dan muslim jua kalau rajin sampaikanlah pada mak anak kakak adik isteri semua okayy.

Satu benda yang selalu kita pakai buat solat, konon buat cukup syarat.. adalah telekung. Kan ? Tapi, yang selalu kita tak perasan atau titik beratkan adalah telekung yang jarang. Selalu kalau pi singgah surau mana mana, mesti akan ternampak muslimah lain yang solat pakai telekung tapi boleh nampak bayangan dan warna rambut, leher, tangan, kaki dan sebagainya. Habis hangus solat anda kerana telekung. =='

Telekung kita pakai untuk menutup aurat semasa menunaikan solat. Tapi apabila dia jarang, dan boleh menampakkan segala galanya sekali pandang,,..apa beza dengan tak pakai telekung ?

Cara nak tahu telekung tu jarang tak jarang, test pakai kat tangan or test dengan anything else yang warna dia terang, and if you can see the colour through it, maka jarang lah dia. Oleh itu, belilah telekung yang tebal sikit, tak pun buat double layer, takpun buat sendiri telekung tu pun okay. Alternatif lain, pakai tudung and stokin beyond telekung anda.
Sekian  

Friday, August 2, 2013

AiR SucI IaLaH AiR YanG DiJagA . .

Diantara tindakan prefentif yang diajarkan Islam guna menjaga kesehatan umat manusia ialah dengan menjaga makanan dan minuman mereka dari berbagai kotoran dan mikro organik yang dapat mengancam kesehatan. Agar makanan dan minuman tetap bersih dan higenis, Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa menutupinya, dan tidak membiarkannya terbuka, terkena udara bebas dan berbagai hal lainnya. Tindakan ini adalah langkah awal yang sangat penting dari upaya menjaga kesehatan dan menangkal penyakit. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

غَطُّوا الْإِنَاءَ، وَأَوْكُوا السِّقَاءَ، وَأَغْلِقُوا الْبَابَ، وأطفؤا السِّرَاجَ، فإن الشَّيْطَانَ لَا يَحُلُّ سِقَاءً، ولا يَفْتَحُ بَابًا، ولا يَكْشِفُ إِنَاءً، فَإِنْ لم يَجِدْ أحدكم إلا أَنْ يَعْرُضَ على إِنَائِهِ عُودًا وَيَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ، فَلْيَفْعَلْ. رواه مسلم

"Tutuplah bejana, ikatlah geribah (tempat menyimpan air yang terbuat dari kulit-pen), tutuplah pintu, matikanlah lentera (lampu), karena sesungguhnya setan tidaklah mampu mengurai geribah yang terikat, tidak dapat membuka pintu, dan tidak juga dapat menyingkap bejanan (yang tertutup). Bila engkau tidak mendapatkan (tutup) kecuali hanya dengan melintangkan diatas bejananya sebatang ranting, dan menyebut nama Allah, hendaknya ia lakukan." (HR. Muslim)

Pada riwayat lain:

غَطُّوا الإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ فإن في السَّنَةِ لَيْلَةً يَنْزِلُ فيها وَبَاءٌ، لاَ يَمُرُّ بِإِنَاءٍ ليس عليه غِطَاءٌ، أو سِقَاءٍ ليس عليه وِكَاءٌ، إلاَّ نَزَلَ فيه من ذلك الْوَبَاءِ. رواه مسلم

"Tutuplah bejana, dan ikatlah geribah, karena pada setiap tahun ada satu malam (hari) yang padanya turun wabah. Tidaklah wabah itu melalui bejana yang tidak bertutup, atau geribah yang tidak bertali, melainkan wabah itu akan masuk ke dalamnya." (HR. Muslim)

Dari mencermati hadits di atas, dapat dipahami bahwa menutup rapat makanan dan minuman, terlebih-lebih bila disertai dengan bacaan basmalah, dapat menanggulangi dua penyebab utama bagi segala penyakit:

1. Ulah dan kejahatan setan.
2. Wabah penyakit yang turn dan menyebar melalui media udara.

Imam An Nawawi berkata: "Para ulama' menyebutkan beberapa faedah dari perintah menutup bejana dan geribah, diantaranya kedua faedah yang ditegaskan pada hadits-hadits ini, yaitu:

1. Menjaganya (makanan dan minuman) dari setan, karena setan tidak dapat menyingkap tutup bejana, dan tidak dapat mengurai ikatan geribah.
2. Menjaganya dari wabah yang turun pada satu malam di setiap tahun.
3. Faedah ketiga: menjaganya dari terkena najis dan kotoran.
4. Keempat: menjaganya dari berbagai serangga dan binatang melata, karena bisa saja serangga jatuh ke dalam bejana atau geribah, lalu ia meminumnya, sedangkan ia tidak menyadari keberadaan serangga tersebut, atau ia meminumnya pada malam hari, (sehingga ia tidak melihatnya-pen) akibatnya ia terganggu dengan binatang tersebut."(2)

Imam An Nawawi juga menjelaskan bahwa syari'at menutup bejana dan mengikat geribah ini bukan hanya berlaku pada malam hari, akan tetapi juga berlaku pada siang hari, berdasarkan keumuman teks hadits di atas.

Syari'at ini juga menguatkan paparan saya sebelumnya, bahwa lalai dari berdzikir kepada Allah adalah biang berbagai penyakit, karena dengan menyebut nama Allah ketika menutup makanan dan minuman, berarti makanan dan miuman kita terhindar dari ulah setan dan wabah yang turun.

Hikmah pertama dan kedua yang disebutkan pada hadits di atas, yaitu menjaga makanan dan minuman dari wabah yang turun pada satu hari/malam di setiap tahun, merupakan hikmah yang hingga saat ini tidak diketahui dan ditemukan oleh ilmu kedokteran barat. Dan hikmah ini hanya dapat diketahui melalui wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagaimana hadits ini merupakah isyarat bahwa wabah penyakit, hanya terjadi pada masa-masa tertentu saja, dan tidak terjadi pada sepanjang tahun. Dan ini adalah salah satu fakta yang telah dibuktikan dalam dunia medis. Kita semua mengetahui bahwa berbagai wabah yang ada di masyarakat, kebanyakannya terjadi pasa masa-masa tertentu saja, dimana pada saat itu berbagai virus dan bakteri penyebab penyakit berkembang biak, lalu menyerang masyarakat.

Kedua hikmah ini merupakan secercah rahasia ilmu kedokteran islam yang tidak atau belum kita kembangkan dan sosialisasikan ke masyarakat. Sebagaimana hal ini merupakan salah satu bentuk imunisasi syariat yang belum atau bahkan tidak kita kembangkan dan sosialisasikan kepada umat manusia.


Di kopi tehkan dari http://hjlutfi-choras.blogspot.com/2011_09_01_archive.html

                                       Walaupun nak tutup dengan tudung saji pun boleh juga . . .  =)

HaDis DhAif BuLan RamaDHan Yang Wajar KiTa KetAHuI

Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.
Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:
الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء
“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)
Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.

Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.
Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.
Hadits 1
صوموا تصحوا
“Berpuasalah, kalian akan sehat.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).
Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).
Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits 2
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).
Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
Terdapat juga riwayat yang lain:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.
Hadits 3
يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،
“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan,  ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)
Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.
Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه
“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)
Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah bersabda:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’.  Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar  berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Hadits 4
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.
Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”
Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”
Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.
Hadits 5
من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله
“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari  di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).
Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.
Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)
Hadits 6
لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).
Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.
Hadits 7
أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر
“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”
Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).
Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.
Hadits 8
رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).
Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334),  dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).
Hadits 9
من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر
“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”
Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)
Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:
من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا
“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)
Hadits 10
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”
Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.
Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.
Hadits 11
قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك
“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).
Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك
Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”
Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits 12
خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة
“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)
Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).
Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه
“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)
Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Rabbuna Jalla Sya’nuhu.
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
***
Disusun oleh: Yulian Purnama
Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
==========
Silakan like FB fanspage Muslim.Or.Id dan follow twitter @muslimindo
==========

DoA BukA Puasa VersI pelBagAI ??

Berkenaan hadith doa berbuka puasa yang khusus, terdapat dua hadith yang datang (warid) dari Baginda Nabi SAW iaitu: 

Lafaz pertama: 


اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت / Allahumma Laka Shumtu Wa `Ala Rizqika Aftartu

Terjemahan: Ya Allah keranaMu aku berbuka puasa dan atas rezqi dariMu aku berbuka. 

Sesetengah lafaz menyebut "Bismillah" dihadapan. 

Sesetengah lafaz pula berbunyi: لَكَ صُمْتُ , وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ / Laka Shumtu Wa `Ala Rizqika Aftartu fa Taqabbal Minni Innaka Antas Aami'ul `Alim 

Sesetengah lafaz berbunyi:  اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ / Allahumma Laka Shumtu Wa `Alaika Tawakkaltu Wa `Ala Rizqika Aftartu

Hadith semisal ini dikeluarkan antaranya oleh Abu Daud (no. 2358), al-Baihaqi dalam al-Kubra (no. 8392) dan lain-lain dari Husaym dari Husain dari Muadz bin Zahrah dari Nabi SAW, dan lajur ini dhaif kerana: 

1- Sanadnya putus, Muadz bin Zahrah (sesetengah menyebut Muadz Abu Zahrah) adalah seorang Tabiin, maka jalur ini Mursal dan Mursal adalah daripada jenis hadith dhaif. Bahkan sesetengah nuqqad mengkategorikan Muadz bin Zahrah ini sebagai Atba' al-Tabiin, antaranya Ibn Hibban. 

2- Berkata Imam al-Bukhari berkenaan jalur Husain dari Muadz bin Zahrah: "معاذ أبو زهرة . قال حصين حدثت عنه ، مرسل - Muadz Abu Zahrah, meriwayatkan Husain darinya, Mursal" [al-Tarikh al-Kabir, 1/227], dan Mursal adalah daripada jenis hadith yang dhaif. 

Hadith semisal ini juga dikeluarkan antaranya oleh al-Tabarani dalam al-Awsat (no. 7549) dan lain-lain dari Ismail bin Amru al-Bajali dari Daud al-Zibriqan dari Syu'bah dari Thabit al-Bunani dari Anas dari Nabi SAW secara marfu', dan jalur ini juga dhaif kerana: 

1- Ismail bin Amru al-Bajali, dia adalah perawi yang dhaif, di-dhaif-kan oleh ramai nuqqad antaranya al-Daraquthni, Ibn `Adiy dan lain-lain. 

2- Ismail bin Amru al-Bajali juga, disamping dia adalah seorang yang dhaif, dia juga tafarrud (menyendiri) dalam meriwayatkan hadith ini dari Daud al-Zibriqan dari Syu'bah, ini menambahkan lagi kelemahan lajur ini. 

3- Daud al-Zibriqan, dia adalah seorang yang matruk sebagaimana kata Ya'qub bin Syaibah dan Abu Zur'ah, bahkan al-Jauzajani menyatakan dia seorang yang pendusta. 

4- Daud al-Zibriqan, disamping dia adalah seorang yang matruk bahkan dinilai sebagai pendusta oleh sesetangah nuqqad, dia juga tafarrud (menyendiri) dalam meriwayatkan hadith ini dari Syu'bah, ini menambahkan lagi kelemahan lajur ini. 

5- Berkata Imam al-Tabarani berkenaan jalur ini: "لم يرو هذا الحديث عن شعبة إلا: داود بن الزبرقان، تفرد به إسماعيل بن عمرو -  tidak ada sama sekali orang yang meriwayatkan hadith ini dari Syu'bah melainkan Daud al-Zibriqan, menyendirinya Ismail bin Amru" [al-Awsat, no. 7549]

6- Syu'bah adalah Kibar al-Huffaz, maka dimanakah murid-murid Syu'bah yang lain yang thiqah dalam meriwayatkan hadith ini? mengapa ia perlu hanya datang bersendirian dari mereka yang dhaif, matruk bahkan tertuduh dusta? 

7- Daripada poin kedua, keempat, kelima dan keenam diatas, maka jelas menunjukkan bahawa hadith ini adalah hadith yang Gharib, dan kata Imam Ahmad bin Hanbal: 

"لا تكتبوا هذه الأحاديث الغرائب فإنّها مناكير، وعامّتها عن الضعفاء "

Terjemahan: "janganlah kamu semua menulis hadith-hadith yang gharib, kerana ia adalah hadith-hadith yang munkar dan secara umumnya adalah dari mereka-mereka yang dhaif" [rujuk: Tadrib al-Rawi, al-Suyuthi, 2/182]

Dan berkata Imam Ahmad bin Hanbal lagi:

إذا سمعت أصحاب الحديث يقولون : هذا الحديث غريب أو فائدة ، فاعلم أنه خطأ أو دخل حديث في حديث ، أو خطأ من المحدث ، أو ليس له إسناد ، وإن كان قد روى شعبة ، وسفيان

Terjemahan: "apabila kamu mendengar ashabul hadith (iaitu nuqqad hadith) berkata: "hadith ini gharib" atau "faidah", ketahuilah bahawa sesungguhnya ia adalah hadith yang silap, atau masuk hadith dalam hadith, atau kesilapan dari muhaddith (iaitu perawi), atau tiada isnad padanya (iaitu tiada isnad yang kuat) walaupun hadith itu (engkau dapati pada zahirnya sanadnya) ia diriwayatkan oleh Syu'bah dan Sufyan" [rujuk: Al-Kifayah, hal. 225]

8- Disamping Gharib isnadnya , ia juga dhaif. 


Hadith semisal ini juga dikeluarkan antaranya oleh al-Tabarani dalam al-Kabir (no. 12552) dan lain-lain dari jalur Yusuf bin Qays al-Baghdadi dari Abd al-Malik bin Harun bin `Antarah dari Ayahnya dari Datuknya dari Ibn Abbas secara marfu', dan jalur ini juga dhaif kerana: 

1- `Abd al-Malik bin Harun, dia adalah seorang yang Matruk,Munkarul Hadith bahkan dikatakan pendusta, berkata al-Bukhari tentangnya: Munkarul Hadith [Tarikh al-Awsath, no. 1287], berkata Ibn Ma'in tentangnya: Kazab [al-Jarh wa al-Ta'dil, 1748], dan kata Abu Hatim: Matruk al-Hadith [al-Jarh wa al-Ta'dil, 1748]

Hadith semisal ini juga dikeluarkan antaranya oleh Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-`Aliyah  (no. 31074 ) dari jalur Abd al-Rahim bin Waqid dari Hammad bin Amru dari al-Sarri bin Khalid dari Ja'far bin Muhammad dari Ayahnya dari Datuknya dari `Ali secara marfu,  dan jalur ini juga dhaif kerana: 

1- `Abd al-Rahim bin Waqid, dia dhaif, didhaifkan oleh al-Khatib al-Baghdadi sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibn al-Jauzi [al-Dhua'fa wal Matrukin, no. 1919]

2- Hammad bin Amru , dan dia adalah Matruk, Dhaif, Munkarul Hadith, berkata al-Bukhari tentangnya: Munkarul Hadith [Tarikh al-Awsath, no. 1397], berkata Abu Hatim: Dhaif al-Hadith [al-Ilal, 2035], dan berkata al-Nasaie: Matruk al-Hadith [Lisan al-Mizan, no. 1420]

3- al-Sarri bin Khalid , dia adalah seorang yang majhul, tidak dikenal, dan berkata al-Azdi dia tidak dibuat hujah [Lisan al-Mizan, no. 3362]

Maka dengan ini jelaslah, hadith berbuka puasa dengan lafaz (اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت / Allahumma Laka Shumtu Wa Ala Rizqika Aftartu) dan semisalnya adalah dhaif, jalur Muadz bin Zahrah adalah Mursal Dhaif, dan jalur Anas pula Gharib dan Dhaif, jalur Ibn Abbas juga dhaif dan padanya rawi yang matruk,  jalur Ali juga dhaif dan padanya rawi yang matruk, dan hadith-hadith semacam ini tidak dapat dikuatkan, bahkan ia telah di-dhaif-kan oleh Imam Abu Daud (al-Marasil, 203), al-Nawawi (al-Majmu', 6/632), al-Haithami (Majma' al-Zawaid, 3/159), Ibn Qayyim (Zaad al-Ma'ad, 2/49) dan lain-lain huffaz. Bahkan berkata Ibn Qayyim berkenaan hadith ini: tidak thabit / لا يثبت [Zaad al-Ma'ad, 2/49]

Lafaz kedua: 

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله / Zhahabazh Zhaama wabtallatil `uruqu wa tsabatal ajru insyaAllah

Terjemahan: Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkong /urat-urat, dan telah tetap ganjaran/pahala, InsyaAllah

Hadith ini dikeluarkan antaranya oleh Abu Daud (no. 2357), al-Nasaie dalam al-Kubra (2/255), al-Daraquthni (2/985), al-Bazzar (no. 5395) dan lain-lain dari Ali bin al-Hasan dari al-Husain bin Waqid dari Marwan bin Salim al-Muqaffaq dari Ibn Umar dari Nabi secara marfu'. 

Dan hadith ini juga dhaif bahkan gharib, padanya gharabah sanad dan matan, juga padanya jahalah rawi. 

1- Kata Imam al-Bazzar sejurus mengeluarkan hadith ini: "وهذا الحديث لاَ نعلمُهُ يُرْوَى عَن النَّبِيّ صَلَّى الله عَلَيه وَسَلَّم إلاَّ مِن هذا الوجه بهذا الإسناد - hadith ini tidak diketahui akan ia diriwayatkan dari Nabi SAW melainkan dari wajah ini dengan isnad ini" [Musnad, no. 5395]

2- Bahkan Imam Ibn Mandah menyatakan dengan jelas bahawa hadith ini Gharib, katanya: " هذا حديث غريب لم نكتبه إلا من حديث الحسين بن واقد  - hadith ini Gharib, tidak ditulis melainkan dari hadith al-Husain b. Waaqid" [Tahzib al-Kamal, 27/391]

3- Imam al-Daraquthni juga menyatakan hal yang sama berkenaan gharibnya hadith ini, katanya: "تَفَرَّدَ بِهِ الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ - menyendiri hadith ini oleh al-Husain b. Waaqid, dan isnadnya ''hasan'" [Sunan, 2/185]

4- Daripada poin pertama, kedua dan ketiga diatas, maka jelas menunjukkan bahawa hadith ini adalah hadith yang Gharib, dan kata Imam Ahmad bin Hanbal: 

"لا تكتبوا هذه الأحاديث الغرائب فإنّها مناكير، وعامّتها عن الضعفاء "

Terjemahan: "janganlah kamu semua menulis hadith-hadith yang gharib, kerana ia adalah hadith-hadith yang munkar dan secara umumnya adalah dari mereka-mereka yang dhaif" [rujuk: Tadrib al-Rawi, al-Suyuthi, 2/182]

Dan berkata Imam Ahmad bin Hanbal lagi:

إذا سمعت أصحاب الحديث يقولون : هذا الحديث غريب أو فائدة ، فاعلم أنه خطأ أو دخل حديث في حديث ، أو خطأ من المحدث ، أو ليس له إسناد ، وإن كان قد روى شعبة ، وسفيان

Terjemahan: "apabila kamu mendengar ashabul hadith (iaitu nuqqad hadith) berkata: "hadith ini gharib" atau "faidah", ketahuilah bahawa sesungguhnya ia adalah hadith yang silap, atau masuk hadith dalam hadith, atau kesilapan dari muhaddith (iaitu perawi), atau tiada isnad padanya (iaitu tiada isnad yang kuat) walaupun hadith itu (engkau dapati pada zahirnya sanadnya) ia diriwayatkan oleh Syu'bah dan Sufyan" [rujuk: Al-Kifayah, hal. 225]

5- Seseorang mungkin berkata, bahawa hadith ini adalah Hasan, sebagaimana kata Imam al-Daraquthni akan hadith ini:"إِسْنَادُهُ حَسَنٌ -  isnadnya ''hasan'" [Sunan, 2/185]. 

Saya katakan, adakah Hasan yang dimaksudkan Imam al-Daraquthni itu sama seperti yang difahami oleh mustolah moden? adakah ia bermaksud hadith yang pertengahan antara Sahih dan Dhaif, yang diriwayatkan oleh yang thiqah tetapi kurang dhabitnya sebagaimana yang dijelaskan dalam buku-buku mustolah moden yang ringkas? saya katakan tidak!

Perlu diketahui bahawa lafaz 'Hasan' disisi huffaz Salaf tidak sama seperti yang difahami al-Mutaakhkhirin, 'Hasan' disisi huffaz Salaf adalah lebih luas maksudnya, telah masyhur bagi sesiapa yang mengkaji istilah 'Hasan' disisi huffaz salaf bahawa makna 'Hasan' bagi mereka adalah luas dari al-Mutaakhkhirin , kadangkala istilah 'Hasan' itu digunakan dengan maksud Gharib, kadangkala ia adalah untuk lafaz hadith semata iaitu "Hasan al-Lughawi" dimana lafaz hadith itu baik namun ia dhaif, kadangkala ia juga digunakan dengan maksud Munkar, dan kadangkala ia bermaksud dhaif yang ringan, dan kadangkala ia bermaksud sahih.  

Kata Syaikh Thariq 'Iwadullah - antara kibar muhaddith di Mesir - : "bahawa istilah ''hasan'' digunakan (oleh imam-imam hadith salaf) keatas banyak jenis hadith-hadith antaranya: hadith yang diterima (maqbul) secara umumnya, samada ia sahih dari jenis yang tinggi atau yang rendah daripadanya, dan juga digunakan (istilah hasan) ini untuk hadith-hadith yang gharib, munkar dan palsu" [rujuk: Al-Madkhal Ila Ilmi al-Hadith, Abi Muadz Thariq bin 'Awadullah, hal. 85]

Maka tidaklah tepat untuk kita menyatakan bahawa 'Hasan' yang digunakan al-Daraquthni untuk hadith ini adalah menunjukkan ia adalah hadith yang diterima al-Daraquthni sebagai hadith yang di-ithbat-kan sebagai sabda Nabi SAW, bahkan qarain-qarain menunjukkan sebaliknya, bahkan istilah 'isnadnya hasan' secara khusus yang digunakan oleh al-Daraquthni jika dikaji ia secara majoritinya bermaksud "al-Tafarrud" dan "al-Gharabah". 

Kata Fadhilah al-Syaikh Abdul Aziz al-Tharifi berkenaan maksud istilah "isnadnya hasan" disisi Imam al-Daraquthni, katanya al-Tharifi:  

قول الدارقطني في سننه : إسناده حسن ، لا يعني به الاصطلاح المعروف ؛ بل يقصد التفرد والغرابة ، ولذلك أمثلة كثيرة تتضح لمن اطلع على سننه 

Terjemahan: "kata-kata al-Daraquthni dalam kitab Sunannya dengan "isnadnya hasan", bukanlah memberi maksud sebagaimana yang dikatahui dan difahami istilah yang masyhur (dalam kitab-kitab mustolah moden), bahkan ia bermaksud al-Tafarrud dan al-Gharabah, dan padanya contoh-contoh yang banyak yang menjelaskan hal ini bagi mereka yang biasa mengkaji sunannya" [Syarah al-Muharrar, al-Tharifi] 

6- Disamping tafarrudnya rawi untuk hadith ini, dan Gharibnya hadith ini, hadith ini juga padanya terdapat perawi yang majhul, kata Syaikh Muqbil Hadi al-Wadi'e berkenaan hadith ini: "الحديث ضعيف، لأنه يدور على مجهول الحال - hadith ini dhaif,kerana ia berlegar sekitar perawi yang Majhul al-Hal"  [al-Mustadrak, tahqiq Muqbil Hadi al-Wadie, 1/ 583]

Pada sanad hadith ini terdapat perawi bernama Marwan bin Salim al-Muqaffaq (sesetengah menyebut al-Mufaqqaq), dan dia Majhul. Imam Abu Hatim ketika menjelaskan biodata Marwan Maula Hind : "مروان المقفع روى عن ابن عمر حديثاً مرفوعاً، روى عنه حسين بن واقد، ولا أدري هو مروان مولى هند أم غيره؟ - Marwan al-Muqaffaq meriwayatkan dari Ibn Umar satu hadith yang marfu', yang diriwayatkan darinya oleh Husain bin Waqid, dan tidak diketahui adakah dia ini Marwan Maula Hind atau tidak?" [ al-Jarh wa al-Ta'dil , 8/271] , kata-kata Imam Abu Hatim ini menunjukkan bahawa Marwan al-Muqaffaq bukan seorang yang dikenali, tidak masyhur (Majhul al-Hal) dan dia berbeza dengan Marwan Maula Hind yang dikenali thiqah.

Bahkan Marwan al-Muqaffaq yang diperselisihkan dan tidak diketahui identitinya secara tepat ini pula tidak diketahui langsung meriwayatkan hadith-hadith dari Ibn Umar atau lain-lain sahabat melainkan dari hadith ini sahaja! dan tidak diketahui akan al-Husain bin Waqid meriwayatkan darinya melainkan ini sahaja! 

Imam Ibn Hajar menyimpulkan Marwan al-Muqaffaq sebagai "Maqbul" [Taqrib al-Tahzib, no. 6569], iaitu memerlukan kepada pengikut dalam isnad, jika menyendiri maka dia adalah sebenarnya "Majhul al-Hal" , dan Imam al-Zahabi menyebut beliau sebagai: "وُثّق - wussiqa" [al-Kashif, al-Zahabi] dan istilah  "وُثّق - wussiqa" ini bukanlah bermaksud seseorang perawi itu thiqah disisi al-Zahabi tetapi ia adalah untuk mereka yang dinilai thiqah dengan tauthiq yang tidak muktabar. Bahkan Imam al-Zahabi sendiri antara yang turut mengingkari hadith ini, berkata  Ibn Al-Ajmi dalam tarjamah Marwan bin Salim: "استنكر عليه الذهبي هذا الحديث - mengingkari al-Zahabi akan hadith ini" [Al-Kashf al-Hathith, 419]. 

Dan syaikh Syu'aib al-Arnaout dan Dr. Basyar `Awwad Ma'ruf telah menjelaskan lagi kedudukan sebenar Marwan al-Muqaffaq ini dalam Tahrir Taqrib al-Tahzib, kata mereka: 

 بل: مجهول الحال,فقد تفرد بالرواية عنه اثنان فقد
وقد استغربه الحافظ أبو عبدالله بن منده...

Terjemahan: "Bahkan: dia sebenarnya adalah Majhul al-Hal , sesungguhnya telah menyendiri padanya dengan dua orang saja yang mengambil darinya...dan sesugguhnya telah menyatakan dia sebagai gharib (ganjil) oleh al-Hafiz Abu Abdullah bin Mandah" [Tahrir Taqrib al-Tahzib, 2/362] , maka jelaslah disini bahawa kedudukan sebenar Marwan al-Muqaffaq adalah seorang yang Majhul. 

Dan berkata syaikh Abdullah al-Sa'd: 

أن في ثبوت هذا الحديث نظر، ويمكن أن يُعلّ بعلتين
1. غرابة إسناده ومتنه
2. جهالة راويه

Terjemahan: "sesungguhnya ke-thabitan hadith ini padanya keraguan, dan bolehlah sesunguhnya ia cacat dengan dua kecacatan: 1) gharabah isnad dan matannya, 2) jahalah rawinya 

Maka dengan ini jelaslah bahawa hadith dengan lafaz (ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله - Zhahabazh Zhaama wabtallatil `uruqu wa tsabatal ajru insyaAllah) juga adalah hadith yang dhaif,  kerana gharabah sanad dan matannya, juga kerana jahalah rawinya. Hadith ini telah didhaifkan oleh para huffaz salaf semisal Imam  Abu Abdullah ibn Mandah (395H) , juga didhaifkan oleh ramai ahli hadith masa kini semisal syaikh Muqbil Hadi al-Wadi'e, syaikh Umar al-Muqbil, syaikh Abdulrahman al-Faqih, syaikh Abdullah al-Sa'd, syaikh Abdul Aziz al-Tharifi dan lain-lain. Bahkan  Imam Ibn Qayyim menyebutkan hadith ini dengan Sighah Tad'if / Tamridh: "وروي عنه..." [Zaad al-Ma'ad, 2/29] , dan juga ia diingkari oleh Imam al-Zahabi [Al-Kashf al-Hathith, 419]

Kesimpulan: 

Pada saya yang rajihnya ialah kedua-dua hadith yang dibincangkan diatas adalah dhaif, dan saya suka memetik kenyataan syaikh Dr. Umar al-Muqbil, katanya:

حسب بحثي في رسالتي الماجستير ( زوائد السنن الأربع على الصحيحين في أحاديث الصيام ) لم يثبت في الباب شيء في المرفوع عن النبي ، والأسانيد فيها ضعف ليس بالشديد  ,لكن الذي يظهر لي أن الأمر مشهور عند السلف جداً  

Terjemahan: "Berdasarkan kajian ku dalam tesis M.A ku yang bertajuk (Zawaid al-Sunan al-Arbaq `Ala al-Sahihain fi Ahadith al-Siyam) kesimpulannya tiada hadith marfu' kepada Nabi SAW yang thabit dalam bab ini walaupun sedikit, dan isnad-isnad padanya terdapat kelemahan dengan kelemahan yang tidaklah berat , akan tetapi yang jelas bagi ku sesungguhnya amalan ini (iaitu membaca doa ketika berbuka ini) adalah sangat masyhur disisi Salaf" 

Fiqh al-Hadith:

Walaupun hadith-hadith ini kesemuanya tidak thabit dan dhaif, namun ia hanyalah doa, dan tidak bersangkut hal hukum-hakam dan lafaz doa itu tidak bercanggah dengan mana-mana asas umum dalam syariat Islam, maka beramal dengannya adalah mubah (dibolehkan) dengan syarat tidak menyandarkannya dan tidak meng-ithbat-kannya sebagai sabda Baginda SAW. 

Perlu diketahui bahawa manhaj para huffaz salaf dalam berinteraksi dengan hadith-hadith doa secara khusus ialah: hadith-hadith doa walaupun ia tidak thabit dari segi naqal (tak sahih), hukum beramal dengannya adalah mubah (dibolehkan), selagimana isi kandungan doa itu tidak bertentangan dengan asas-asas umum agama, dengan syarat tidak menyandarkannya dan tidak meng-ithbat-kannya sebagai sabda Baginda SAW.

Imam Ibn Khuzaimah (311H) dalam kitab beliau Mukhtasarul Mukhtasar, dalam bab al-Manasik, telah menerangkan kecacatan ('illah) satu hadith yang mengandungi doa. Namun , sejurus selepas itu beliau berkata hadith doa ini sekalipun tidak 'thabit' dari segi naqal namun ia mubah (boleh) diamalkan. Isyarat yang sama dinyatakan oleh Imam al-Baihaqi, Imam `Abdulrahman ibn Mahdi dan lain-lain.

Antara sebab bolehnya beramal dengan hadith-hadith doa yang dha`if ini ialah kerana lafaz doa adalah bersifat bebas dan tidak terikat sepertimana lafaz zikir yang ma'thur dari Nabi SAW. Maka berdoa dengan menggunakan lafaz hadith-hadith doa yang dha`if adalah lebih utama daripada menggunakan lafaz doa yang bersifat bebas, bahkan tanpa sanad langsung. Walaubagaimanapun, sekiranya dalam sesuatu perkara itu telah mempunyai hadith doa yang sahih, maka beramal dengan hadith doa yang sahih itu sudah tentu lebih utama daripada beramal dengan hadith doa yang dha`if. 

Apatah lagi berkenaan kedua-dua hadith doa berbuka puasa ini, sekalipun saya telah nyatakan bahawa yang rajihnya kedua-dua adalah dhaif, namun ia adalah dhaif yang tidak terlalu berat, hingga terdapat sebilangan ahli ilmu yang agak tasahul dan menaik taraf kedua hadith ini kepada Hasan , yang pasti janganlah kita tidak berdoa ketika berbuka puasa kerana waktu itu adalah waktu mustajabnya doa, kata syaikh al-Uthaimin: 

والدعاء المأثور : ( اللهم لك صمت ، وعلى رزقك أفطرت ) ، ومنه أيضاً : قول النبي عليه الصلاة والسلام : ( ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله ) ، وهذان الحديثان وإن كان فيهما ضعف لكن بعض أهل العلم حسنهما ، وعلى كل حال فإذا دعوت بذلك أو بغيره عند الإفطار فإنه موطن إجابة 

Terjemahan: "Dan doa yang ma'thur (yang datang dengan riwayat bersanad) untuk berbuka ialah: (اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت / Allahumma Laka Shumtu Wa `Ala Rizqika Aftartu) dan daripanya juga sabda Nabi SAW (ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله - Zhahabazh Zhaama wabtallatil `uruqu wa tsabatal ajru insyaAllah) , dan sekalipun kedua-dua hadith ini pada keduanya terdapat kelemahan, akan tetapi terdapat sesetengah ahli ilmu menilainya hasan (manaik taraf kepada hasan) keduanya, apapun secara keseluruhannya jika berdoa dengannya (dengan salah satu daripada dua doa ini) atau doa yang lain-lain ketika berbuka, sesungguhnya ia adalah waktu mustajabnya doa" [Majmu' Fatawa , al-Uthaimin, 341]